Powered By Blogger

succes men

succes men
ngasi sambutan nie

Minggu, 27 Maret 2011

PERUBAHAN IKLIM MIKRO BAWAH TAJUK DAN PERANANNYA DALAM PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

Tugas
AGROKLIMATOLOGI






Oleh :
Mahbub Al Qusaeri
071510101050







JURUSAN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2011
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Iklim mikro menjadi faktor yang sangat penting secara praktis perancangan sebuah bangunan yang merupakan bagian dari lingkungan. Sebuah bangunan yang tidak mempertimbangkan kondisi temperatur udara lingkungan mempunyai dampak tidak dapat mereduksi kondisi temperatur luar sesuai dengan kebutuhan kita. begitu halnya dengan kelembaban, bangunan pada daerah tropis sangat mementingkan kebutuhan aliran angin dalam membantu mendorong terjadinya penguapan.
Iklim mikro merujuk kepada keadaan iklim bagi suatu kawasan kecil atau iklim tempatan. Iklim satu lokasi adalah satu rantaian keapda sistem iklim yang lebih besar, maka perubahan dalam sesuatau iklim akan mengakibatkan perubahan kepada sistem iklim yang lebih besar.
Pembangunan membawa kesan ke atas sistem iklim mikro. Pembangunan mengubah iklim mikro sesuatu kawasan; kesan utama adalah terhadap imbangan sinaran tenaga dan gangguan terhadap kitaran hidrologi. Penebangan pokok mengakibatkan kuantiti sinaran tenaga yang diserap oleh tanah lapang meningkat. Ini menyebabkan peningkatan suhu permukaan tanah dan suhu udara. Pembalikan sinaran tenaga bertambah hingga menyebabkan suhu udara meningkat.
Pembuangan tumbuhan yang berperanan sebagai penyerap air menyebabkan peningkatan larian (run-off) permukaan air. Tanah yang terdedah mudah terhakis dan air larian permukaan ini akan bergerak dengan cepat ke saliran. Penambahan kuantiti air yang bergerak dengan cepat menyebabkan banjir kilat. Kesan dari perindustrian, gas-gas sisa seperti Karbon Monoksida dikeluarkan dan mengakibatkan pemanasan bumi secara keseluruhannya
Hama dan penyakit merupakan salah satu faktor pembatas produksi tanaman baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan. Hama menimbulkan gangguan tanaman secara fisik, dapat disebabkan oleh serangga, tungau, vertebrata, dan moluska. Sedangkan penyakit menimbulkan gangguan fisiologis pada tanaman, disebabkan oleh cendawan, bakteri, fitoplasma, virus, viroid, nematoda dan tumbuhan tingkat tinggi. Perkembangan hama dan penyakit sangat dipengaruhi oleh dinamika faktor iklim. Beberapa serangan hama dan penyakit tanaman seringkali muncul secara intensif pada musim-musim tertentu. Hal ini berkenaan dengan kondisi lingkungan, seperti suhu, kelembaban, angin, ketersediaan air, dan lain-lain, yang menjadi kondusif pada saat-saat tertentu bagi perkembangbiakan, penyebaran dan perkembangan hama dan penyakit tanaman.

























BAB 2. DATA DAN GAMBAR

Meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK) di dunia secara signifikan selama dua abad terakhir mendorong terjadinya perubahan iklim yang dampaknya menimbulkan kerugian luar biasa bagi lingkungan dan kehidupan manusia. Pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat rentan terhadap perubahan iklim yang berdampak pada produktivitas tanaman dan pendapatan petani. Dampak tersebut bisa secara langsung maupun tidak langsung melalui serangan hama dan penyakit tanaman. Fluktuasi suhu dan kelembaban udara yang semakin meningkat yang mampu menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan hama dan penyakit merupakan beberapa pengaruh perubahan iklim yang berdampak buruk terhadap pertanian di Indonesia. Di banyak wilayah di dunia, perubahan iklim menyebabkan migrasinya beberapa jenis hama dan penyakit yang terjadi karena kondisi yang ditempati saat ini tidak lagi kondusif bagi kelangsungan hidupnya. Selain itu bahkan disinyalir perubahan iklim membawa dampak pada munculnya penyakit-penyakit tanaman baru, seperti penyakit ‘hitam buah’ pada tanaman kakao yang ditemui di Pulau Enggano.
Tulisan ini berupaya untuk memahami hubungan faktor-faktor iklim dengan perkembangan hama dan penyakit dan dikaitkan dengan adanya fenomena perubahan iklim, serta meninjau perkiraan dampak yang ditimbulkan bagi perkembangan hama dan penyakit tanaman. Pengumpulan informasi dilakukan dengan studi literatur dari berbagai sumber terutama melalui media internet. Tujuan penulisan adalah merangkum berbagai dampak perubahan iklim, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap perkembangan hama dan penyakit tanaman yang terjadi secara umum di dunia dan secara khusus di Indonesia.

Perubahan Iklim
Perubahan iklim global adalah perubahan unsur-unsur iklim dalam jangka panjang (50–100 tahun) yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (Murdiyarso, 2003). Kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih-guna-lahan dan kehutanan merupakan sumber utama emisi Gas Rumah Kaca (GRK) terutama karbon dioksida (CO2) yang kontribusi terbesar berasal dari negara industri. Gas rumah kaca memiliki kemampuan menyerap panas yang berasal dari radiasi matahari yang dipancarkan kembali oleh bumi. Penyerapan ini telah menyebabkan pemanasan atmosfer atau kenaikan suhu dan perubahan iklim.
Suhu permukaan bumi yang dinyatakan dalam rata-rata global telah meningkat sekitar 0,74oC selama beberapa ratus tahun terakhir (antara 1906 dan 2005). Hasil kajian IPCC (2007) menunjukkan bahwa sejak tahun 1850 tercatat adanya 12 tahun terpanas berdasarkan data temperatur permukaan global. Sebelas dari dua belas tahun terpanas tersebut terjadi dalam waktu 12 tahun terakhir ini (1995 hingga 2006). Pemanasan terutama sejak tahun 1970an, terjadi lebih besar pada daratan dibandingkan lautan.
Pengamatan juga menunjukkan bahwa perubahan juga terjadi pada jumlah, intensitas dan jenis presipitasi. Aspek-aspek presipitasi ini umumnya menunjukkan variabilitas alami yang besar. Pola dan distribusi curah hujan terjadi dengan kecenderungan bahwa daerah kering akan menjadi makin kering dan daerah basah menjadi makin basah. Jumlah presipitasi pada kecenderungan jangka panjang dari tahun 1900 hingga 2005 telah diamati di beberapa tempat, yaitu lebih basah secara signifikan pada bagian timur Amerika Utara dan Selatan, bagian utara Eropa dan bagian utara dan tengah Asia, namun lebih sering di Sahel, bagian selatan Afrika, Mediterania dan bagian selatan Asia.
Selain peningkatan suhu permukaan bumi yang terjadinya di daratan maupun lautan, perubahan iklim juga ditandai dengan meningkatnya ketinggian permukaan laut. Permukaan air laut rata-rata global telah meningkat dengan laju rata-rata 1.8 mm per-tahun dalam rentang waktu antara lain antara tahun 1961 – 2003 . Kenaikan total permukaan air laut yang berhasil dicatat pada abad ke-20 diperkirakan 0,17 m. Kondisi ini diperkuat dngan adanya fakta bahwa telah terjadi pengurangan tutupan salju serta mencairnya pegunungan gletser di beberapa daerah terutama pada saat musim semi.
Perubahan iklim juga berpengaruh terhadap kenaikan frekuensi maupun intensitas kejadian cuaca ekstrim. Perubahan ini dapat terjadi meskipun dengan perubahan iklim rata-rata yang relatif kecil. Perubahan-perubahan pada beberapa jenis kejadian ekstrim telah diamati, misalnya peningkatan frekuensi dan intensitas gelombang panas dan kejadian hujan yang sangat lebat. Fakta lain adalah bahwa kejadian El Nino semakin sering terjadi dan intensitasnya juga cenderung menguat setelah tahun 1980, dan ini berasosiasi dengan semakin kuatnya intensitas kejadian cuaca dan iklim ekstrim.
Pada semua daerah di dunia, semakin tinggi kenaikan temperatur maka akan semakin besar pula resiko terjadinya bencana. IPCC menyatakan bahwa pemanasan global dapat menyebabkan terjadi perubahan yang signifikan dalam sistem fisik dan biologis seperti peningkatan intensitas badai tropis, perubahan pola presipitasi, salinitas air laut, perubahan pola angin, mempengaruhi masa reproduksi hewan dan tanaman, distribusi spesies dan ukuran populasi, frekuensi serangan hama dan wabah penyakit, serta mempengaruhi berbagai ekosistem yang terdapat di daerah dengan garis lintang yang tinggi (termasuk ekosistem di daerah Artika dan Antartika), lokasi yang tinggi, serta ekosistem-ekosistem pantai.

Beberapa Kasus di Indonesia
Di Indonesia hingga saat ini belum ada penelitian komprehensif tentang hubungan perubahan iklim dan hama penyakit di lapangan. Namun, tanda-tanda di lapangan menunjukkan kaitan kuat antara masalah hama dan penyakit dengan perubahan iklim yang terjadi. Wiyono (2007) menganalisa beberapa perubahan persoalan hama dan penyakit di Indonesia, terkait peningkatan dan penurunan serangan hama/penyakit pada tiga tahun terakhir, diantaranya adalah:
(i) Peningkatan populasi atau serangan
Pada kondisi ini hama-penyakit menjadi makin merusak, atau tingkat kerusakannya menjadi lebih besar. Penyakit yang meningkat tajam dalam tiga tahun terakhir adalah penyakit kresek pada padi yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae, virus Gemini pada cabai dan tomat, serta hama Thrips pada cabai. Perubahan iklim yang menyebabkan meningkatnya frekuensi kejadian iklim ekstrim seperti banjir juga dapat berpengaruh pada serangan hama. Beberapa hama/patogen ditularkan aliran air, contohnya hama padi keong emas, di persawahan Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.
(ii) Penurunan populasi atau serangan
Sepanjang pengamatan lapangan selama tiga tahun terakhir terjadi penurunan penyakit hawar daun tomat oleh Phytophthora infestans. Sebelumnya penyakit ini merupakan penyakit tomat paling merusak di dataran tinggi. Penyakit hawar daun tomat lebih berkembang pada kondisi sejuk, yaitu suhu 18—220C, dan lembab. Selain itu, penyakit embun bulu pada bawang merah dan bawang daun yang disebabkan cendawan Peronospora destructor merupakan penyakit paling merusak di dataran tinggi pada 1997. Namun, tahun 2007 dan 2008 justru sangat rendah serangannya. Ini karena suhu rata-rata bumi yang meningkat sehingga kondisi dataran tinggi pun menjadi lebih hangat.
Fakta tersebut menunjukkan adanya kaitan perubahan iklim—seperti peningkatan suhu—dengan masalah hama dan penyakit di Indonesia. Namun, untuk memahami masalah secara menyeluruh perlu pengkajian khusus dan dalam tentang dampak iklim terhadap perubahan hama dan penyakit. Sehingga dapat dirumuskan langkah antisipasi yang tepat, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.












BAB 3. PEMBAHASAN

Hubungan Iklim, Hama dan Penyakit Tanaman
Iklim/cuaca dapat mempengaruhi setiap organisme di alam ini tidak terkecuali organisme pengganggu tanaman (OPT), yang terdiri dari hama, penyakit dan gulma. Proses kehidupan yang penting seperti pertumbuhan, perkembangan, daya tahan hidup dan juga perilakunya secara langsung ataupun tidak langsung dipengaruhi oleh perubahan lingkungan. Penyebaran hewan dan tumbuhan di alam ini tidak terjadi secara kebetulan namun sebagai hasil interaksi dari pengaruh faktor-faktor lingkungan terhadapnya. Sebaran geografis suatu organisme antara lain dibatasi oleh faktor-faktor fisik yaitu suhu, kelembaban udara, cahaya dan ketersediaan air.
Perkembangan hama dan penyakit mempunyai hubungan yang erat dengan keadaan lingkungan habitatnya. Keadaan lingkungan selalu berubah-ubah, organisme penggangu yang hidup di dalamnya pun selalu berubah menyesuaikan diri. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan OPT dalam garis besarnya dapat dibagi menjadi dua (Little, 1971) yaitu:
1. Faktor dalam adalah faktor yang berada dalam tubuh organisme seperti organ tubuh dan keadaan fisiologisnya.
2. Faktor luar adalah faktor yang berada di luar tubuh organisme yang mempengaruhinya langsung dan tidak langsung yaitu faktor fisik, biotik dan makanan.
Faktor fisik dapat dibedakan menjadi unsur iklim/cuaca dan topografi. Faktor ini merupakan penghambat atau sekurang-kurangnya mempengaruhi penyebaran OPT. Hal ini disebabkan oleh perbedaan topografi antar wilayah yang menyebabkan terjadinya perbedaan faktor iklim dan secara tidak langsung menimbulkan perbedaan tumbuhan yang tumbuh.
Faktor biotik adalah semua faktor yang pada dasarnya bersifat hidup dan berperan dalam keseimbangan populasi OPT. Termasuk dalam faktor biotik adalah parasit, predator, kompetisi dan resistensi tanaman. Faktor makanan adalah unsur utama yang menentukan perkembangan OPT. Tersedianya inang (tanaman dan hewan) yang menjadi sumber makanan merupakan faktor pembatas dalam menentukan taraf kejenuhan populasi (carryng capacity) lingkungan atas OPT.
Hama seperti mahluk hidup lainnya perkembangannya dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim baik langsung maupun tidak langsung. Temperatur, kelembaban udara relatif dan fotoperiodisitas berpengaruh langsung terhadap siklus hidup, keperidian, lama hidup, serta kemampuan diapause serangga (Wiyono 2007). Sebagai contoh hama kutu kebul (Bemisia tabaci) mempunyai suhu optimum 32,5º C untuk pertumbuhan populasinya (Bonaro et al. 2007). Contoh yang lain adalah pertumbuhan populasi penggerek batang padi putih berbeda antara musim kemarau dan musim hujan, sementara itu panjang hari berpengaruh terhadap diapause serangga penggerek batang padi putih (Scirpophaga innotata) di Jawa (Triwidodo, 1993). Umumnya serangga-serangga hama yang kecil seperti kutu-kutuan menjadi masalah pada musim kemarau atau rumah kaca karena tidak ada terpaan air hujan (Wiyono 2007).
Iklim sebagai faktor lingkungan fisik juga sangat berpengaruh terhadap proses timbulnya penyakit. Pengaruh faktor iklim terhadap patogen bisa terhadap siklus hidup patogen, virulensi (daya infeksi), penularan, dan reproduksi patogen. Pengaruh perubahan iklim akan sangat spesifik untuk masing masing penyakit. Garret et al. (2006) menyatakan bahwa perubahan iklim berpengaruh terhadap penyakit melalui pengaruhnya pada tingkat genom, seluler, proses fisiologi tanaman dan patogen. Bakteri penyebab penyakit kresek pada padi Xanthomonas oryzae pv. oryzae mempunyai suhu optimum pada 30º C (Webster dan Mikkelsen, 1992). Sementara F. oxysporum pada bawang merah mempunyai suhu pertumbuhan optimum 28-30 º C (Tondok, 2003). Bakteri kresek penularan utamanya adalah melalui percikan air sehingga hujan yang disertai angin akan memperberat serangan. Pada temperatur yang lebih hangat periode inkubasi penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum ) lebih cepat di banding suhu rendah. Sebaliknya penyakit hawar daun pada kentang yang disebabkan oleh cendawan Phytophthora infestans lebih berat bila cuaca sejuk (18-22 º C) dan lembab.

Dampak Perubahan Iklim terhadap Hama dan Penyakit Tanaman
Beberapa jenis gas di atmosfir, seperti CO2, CH4, dan N2O mempengaruhi iklim permukaan bumi karena kemampuanya dalam membantu proses transmisi radiasi dari matahari ke permukaan bumi, dan juga menghambat keluarnya sebagian radiasi dari permukaan bumi. Kalau konsentrasi dari gas-gas ini di atmosfir meningkat, radiasi yang keluar dari permukaan bumi akan terhambat, sehingga suhu permukaan bumi bertambah besar. Kondisi seperti inilah yang memicu pemanasan global, yang mengakibatkan terjadinya perubahan iklim dengan dampak yang luar biasa bagi kelangsungan makhluk hidup.
Tanaman membutuhkan CO2 untuk pertumbuhannya. Peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfir akan merangsang proses fotosintesis, meningkatkan pertumbuhan tanaman dan produktivitas pertanian tanpa diikuti oleh peningkatan kebutuhan air (transpirasi). Sebaliknya, kenaikan suhu di permukaan bumi mempunyai pengaruh yang kurang menguntungkan terhadap pertanian, dapat mengurangi bahkan menghilangkan pengaruh positif dari kenaikan CO2 (June 1996). Estimasi kenaikan suhu terbaik saat ini adalah yang dihasilkan oleh General Circulation Models (GCM), kenaikan suhu 2.5 – 5.5 oC diikuti dengan kenaikan laju sirkulasi hidrologi sebesar 5 – 15 % (IPCC, l996).
Seperti telah disebutkan sebelumnya, faktor iklim sangat berpengaruh bagi perkembangan makhluk hidup, diantaranya termasuk yang berperan sebagai hama dan penyakit tanaman. Misalnya unsur iklim suhu dan curah hujan yang menentukan setiap makhluk hidup (species) dapat hidup dan berkembangbiak. Perubahan iklim pada dua unsur tersebut tentunya berpengaruh pada pola hidup species, diantaranya: perubahan sebaran geografis, waktu siklus hidup species, dinamika populasi, perpindahan lokasi habitat alami serta struktur dan komposisi ekosistem (FAO 2008). Sementara suhu yang hangat akan berpengaruh pada sebagian species untuk berpindah tempat atau beradaptasi, beberapa jenis hama akan bertahan pada cuaca yang dingin, dan species yang biasa aktif pada musim panas akan berkembang lebih cepat.
Perubahan iklim dapat berakibat positif, negatif atau tidak berdampak apapun terhadap individu hama ataupun penyakit tanaman. Meskipun kajian ini dirasa sangat penting, namun analisis komprehensif mengenai bagaimana perubahan iklim mempengaruhi hama penyakit tanaman, yang berdampak pada produksi primer pertanian, saat ini masih belum memadai. Chakraborty et al (1999) menyebutkan tiga dampak perubahan iklim dalam kaitannya dengan hama penyakit tanaman adalah: (i) berkurangnya produksi pertanian, (ii) perubahan efektifitas strategi pengendalian hama penyakit, dan (iii) perubahan distribusi geografis hama dan penyakit tanaman.
Pada kondisi iklim sekarang ini, berkurangnya produksi pertanian akibat hama dan penyakit dalam perubahan iklim akan ditentukan oleh sejumlah besar faktor yang berinteraksi secara langsung maupun tidak langsung dalam mempengaruhi hama penyakit tanaman. Pengaruh secara langsung misalnya perubahan fisiologi dan morfologi tanaman inang akibat meningkatnya konsentrasi CO2, akan berpengaruh pada perubahan intersepsi radiasi dan presipitasi dan memodifikasi struktur kanopi dan iklim mikro yang juga berpengaruh pada epidemiologi penyakit dan hama tanaman. Beberapa penyakit dapat menyebabkan intensitas dua kali lebih besar pada kondisi CO2 yang berlimpah setidaknya pada lingkungan yang terkontrol.
Efektifitas dari perlindungan kimiawi pada kebanyakan tanaman tergantung dari kondisi iklim yang berlaku. Perubahan dalam hal durasi, intensitas dan frekuensi kejadian hujan akan berdampak pada pengukuran efektifitas kontrol kimiawi. Perubahan iklim akan memodifikasi interaksi tanaman inang-patogen untuk menentukan dampak dari banyak penyakit. Akibatnya dampak terbesar perubahan iklim akan terdapat pada strategi manajemen yang memanfaatkan resistansi tanaman inang. Modifikasi dalam biokimia Rubisco, fisiologi stomata, anatomi, morfologi dan fenologi telah banyak diketahui pada kondisi CO2 berlimpah (Bowes, 1993; Wolfe, 1995). Kebanyakan perubahan dalam fisiologi tanaman inang ini dapat berpotensi meningkatkan resistensi tanaman inang.
Meningkatnya suhu secara umum dapat juga menyebabkan perpindahan zona agroklimatik ke arah kutub dan pola pertanian yang tumbuh di zona tersebut. Carter et al (1996) memprediksikan bahwa tanaman jagung dapat ditanam secara baik di wilayah Finlandia selatan pada tahun 2050. Pada waktu yang sama, resiko penyakit ‘late blight’ pada tanaman kentang akan meningkat di semua wilayah dan nematode kentang akan menjadi masalah yang serius dengan pertambahan generasi per tahunnya. Prediksi yang sama juga berlaku pada beberapa jenis pathogen lainnya yang cenderung akan migrasi ke arah utara dan meningkatkan intensitas serangan di wilayah distribusi saat ini. Patogen akan mengikuti arah migrasi tanaman inangnya. Penyebaran dan ketahanan hidup patogen antar musim serta perubahan fisiologi tanaman inang dan ekologi di lingkungan yang baru akan mempengaruhi seberapa cepat patogen berkembang dalam lingkungan yang baru.





















DAFTAR PUSTAKA

Boland et al. 2004. Climate change and plant diseases in Ontario. Can. J. Plant Pathol. 26: 335–350.
Chakraborty et al. 1999. Climate Change: Potential Impact on Plant Diseases. Environmental Pollution 108 (2000) 317– 326.
FAO. 2008. Climate Related Transboundary Pest and Disease. Technical Background Document From The Expert Consultation. Rome, Italy.
Garret K A et al. 2006. Climate change effect to plant disease: genome to ecosystem. Ann, Rev. Phytopathol 44; 489-509.
Heagle et al. 2002. Effects of carbon dioxide enrichment on leaf chemistry and reproduction by two spotted spider mites (Acari: Tetranychidae) on white clover. Environ. Entomol. 31: 594-601
IPCC. l996. Climate change l995 – The science of climate change. Cambridge University Press.
IPCC. 2007. Climate Change 2007 – The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the IPCC.
IPCC. 2007. Climate Change 2007 – Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the IPCC
June T. 1996. Kenaikan CO2 dan Perubahan Iklim: Implikasinya terhadap Pertumbuhan Tanaman. Institut Pertanian Bogor.
Mainul Haq et al. 2008. Incidence and Severity of Rice Diesease and Insect Pest in Relation to Climate Change. Bangladesh Rice Reasearch Institute, Gazipur.
Murdiyarso, Daniel. 2003. Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim. Penerbit Buku Kompas. Jakarta
Webster, R.K. dan D.S. Mikkelsen. 1992. Compendium of Rice Diseases. APS Press. Minnesota
Wiyono S. 2007. Perubahan Iklim dan Ledakan Hama dan Penyakit Tanaman. Institut Pertanian Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar