Powered By Blogger

succes men

succes men
ngasi sambutan nie

Minggu, 27 Maret 2011

penyakit penting PADI


BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
 Upaya peningkatan produktivitas padi mendukung P2BN dalam dua tahun terakhir ini banyak mengalami kendala terutama akibat faktor alami seperti perubahan iklim dan serangan hama penyakit. Salah satu jenis penyakit penting adalah virus tungro. Serangan penyakit tungro seringkali berakibat fatal, karena tanaman terserang tidak dapat membentuk malai, dan sangat sulit dikendalikan.
Penyakit tungro mulai ditemukan di Nusa Tenggara Barat (NTB) sejak tahun 1972, bersamaan dengan munculnya penyakit tungro di  Jawa, Bali dan Sulawesi Selatan. Ledakan penyakit tungro terbesar terjadi di Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur pada areal seluas lebih dari 10.000 ha tahun 1999. Kerusakan tanaman akibat tungro terus-menerus ditemukan khususnya di Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Dompu dan Bima, dengan intensitas serangan yang beragam. Kondisi ini perlu segera diatasi agar ledakan penyakit dapat dihindari yakni melalui pengelolaan tanaman yang benar dan pengendalian yang terintegrasi.
Penyakit virus tungro sampai saat ini masih merupakan masalah bagi kita dan telah banyak menimbulkan kerugian besar di beberapa daerah, tentu saja hal ini akan berpengaruh terhadap produksi dan produktivitas padi dan merupakan kendala bagi swasembada dan keamanan pengadaan pangan Nasional. Daerah penyebaran Tungro di Indonesia adalah Sulawesi utara, Sulawesi tenggara, Sulawesi selatan, Kalimantan timur, Kalimantan selatan, Kalimantan barat, Bali, Nusa tenggara barat, Nusa tenggara timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Penyakit tungro ini di Irian Jaya mulai menyerang pada tahun 1985. Walaupun usaha pengendalian hama wereng hijau yang merupakan vektor virus tungro telah banyak dilakukan, tetapi ternyata sampai saat ini hama tersebut masih merupakan hama utama bagi tanaman padi di Indonesia. Oleh karena itu penerapan pengendalian berdasarkan konsep pengendalian hama dan penyakit terpadu perlu lebih ditingkatkan pelaksanaannya.

BAB III. PEMBAHASAN

Tungro adalah penyakit virus pada padi yang biasanya terjadi pada fase pertumbuhan vegetatif dan menyebabkan tanaman tumbuh kerdil dan berkurangnya jumlah anakan. Pelepah dan helaian daun memendek dan daun yang terserang berwarna kuning sampai kuning-oranye. Daun muda sering berlurik atau strip berwarna hijau pucat sampai putih dengan panjang berbeda sejajar dengan tulang daun. Gejala mulai dari ujung daun yang lebih tua. Daun menguning berkurang bila daun yang lebih tua terinfeksi. Dua spesies wereng hijau Nephotettix malayanus dan N.virescens adalah serangga yang menyebarkan (vektor) virus tungro.
Tungro merupakan salah satu dari penyakit padi yang paling merusak di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Epidemik penyakit ini telah terjadi sejak pertengahan tahun 1960an. Malai yang terserang jarang menghasilkan gabah, menjadi pendek dan steril atau hanya sebagian yang berisi dengan gabah yang berubah warna. Pembungaan tanaman sakit tertunda dan pembentukan malai sering tidak sempurna.
Penyebab Penyakit
Penyakit tungro disebabkan oleh virus yang disebut dengan virus tungro padi (VTP). Virus ini bersifat non persisten, artinya virus tersebut hanya dapat menyerang tanaman dalam masa yang pendek saja. Sudah diketahui bahwa VTP terdiri dari dua bentuk yaitu yang berbentuk batang (RTBV = Rice Tungro Bacciliform Virus) dan virus yang bulat isometri (RTSV = Rice Tungro Spherical Virus). Tanaman yang terserang tungro bisa mengandung kedua virus tersebut namun dapat juga mengandung hanya salah satu saja. VTP tersebut berada dalam jaringan tanaman sakit, terutama dalam jaringan daun.
Gejala Penyakit
Secara morfologis tanaman padi yang tertular virus tungro menjadi kerdil, daun berwarna kuning sampai kuning jingga disertai bercak-bercak berwarna coklat. Perubahan warna daun di mulai dari ujung, meluas ke bagian pangkal. Jumlah anakan sedikit dan sebagian besar gabah hampa. Infeksi virus tungro juga menurunkan jumlah malai per rumpun, malai pendek sehingga jumlah gabah per malai rendah. Serangan yang terjadi pada tanaman yang telah mengeluarkan malai umumnya tidak menimbulkan kerusakan fatal.
Tinggi rendahnya intensitas serangan tungro ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya: ketersediaan sumber inokulum (tanaman terserang), adanya vektor (penular), adanya varietas peka dan kondisi lingkungan yang memungkinkan, namun keberadaan vektor yang mengandung virus adalah faktor terpenting. Intensitas penyakit tungro juga dipengaruhi oleh tingkat ketahanan varietas dan stadia tanaman. Tanaman stadia muda, sumber inokulum tersedia dan populasi vektor tinggi akan menyebabkan tingginya intensitas serangan tungro. Ledakan tungro biasanya terjadi dari sumber infeksi yang berkembang pada pertanaman yang tidak serempak.
Faktor-faktor yang Mendukung Penyebaran Penyakit Tungro
Penyebaran penyakit tungro padi (VTP), dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
1.      Serangga penular
Virus tungro padi ditularkan melalui serangga penular (vektor) yaitu wereng hijau (Nephotettix spp). VTP ditularkan secara non persisten oleh vektornya. Serangga vektor hanya memerlukan waktu pengisapan dari tanaman sakit 3 - 5 menit, kemudian sudah mampu menularkan virus. kepada tanaman sehat yang rentan. Virus dapat tetap tahan di dalam badan serangga selama kurang lebih S hari. Setelah periode tersebut, serangga tidak mempunyai kemampuan lagi untuk menularkannya. Serangga akan berperan kembali bila tubuhnya telah mengandung virus tungro, yakni setelah menghisap tanaman yang sakit. Demikian pula serangga yang telah berganti kulit tidak efektif setelah mengisap tanaman sakit.
2.      Tanaman Inang dan faktor lingkungan
Tanaman padi merupakan inang utama bagi VTP maupun serangga penularannya. Perkembangan penyakit tungro maupun vektornya dipengaruhi oleh kepekaan tanaman padi terhadap virus maupun terhadap serangga penularnya (vektornya). Selain kepekaan tanaman, perkembangan VTP dan vektornya juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan baik faktor biologic maupun non biologic. Faktor biologis antara lain adanya parasit pathogen dan predator dari serangga penular (vektor), kompetisi antar species, serta adanya tanaman inang pengganti (inang alternatif) bagi VTP maupun vektor.
Pengendalian penyakit
Pada prinsipnya penyakit tungro tidak dapat dikendalikan secara langsung artinya, tanaman yang telah terserang tidak dapat disembuhkan. Pengendalian bertujuan untuk mencegah dan meluasnya serangan serta menekan populasi wereng hijau yang menularkan penyakit. Mengingat banyaknya faktor yang berpengaruh pada terjadinya serangan dan intensitas serangan, serta untuk mencapai efektivitas dan efisiensi, upaya pengedalian harus dilakukan secara terpadu yang meliputi :
1.        Waktu tanam tepat
Waktu tanam harus disesuaikan dengan pola fluktuasi populasi wereng hijau yang sering terjadi pada bulan-bulan tertentu. Waktu tanam diupayakan agar pada saat terjadinya puncak populasi, tanaman sudah memasuki fase generatif (berumur 55 hari atau lebih). Karena serangan yang terjadi setelah masuk fase tersebut tidak menimbulkan kerusakan yang berarti.
2.        Tanam serempak
Upaya menanam tepat waktu tidak efektif apabila tidak dilakukan secara serempak. Penanaman tidak serempak menjamin ketersediaan inang dalam rentang waktu yang panjang bagi perkembangan virus tungro, sedangkan bertanam serempak akan memutus siklus hidup wereng hijau dan keberadaan sumber inokulum. Penularan tungro tidak akan terjadi apabila tidak tersedia sumber inokulum walaupun ditemukan wereng hijau, sebaliknya walaupun populasi wereng hijau rendah akan terjadi penularan apabila tersedia sumber inokulum.
3.         Menanam varietas tahan
Menanam varietas tahan merupakan komponen penting dalam pengendalian penyakit tungro.Varietas tahan artinya mampu mempertahankan diri dari infeksi virus dan atau penularan virus oleh wereng hijau. Walaupun terserang, varietas tahan tidak menunjukkan kerusakan fatal, sehingga dapat menghasilkan secara normal. Sejumlah varietas tahan yang dianjurkan IR-66, IR-72 dan IR-74.
4.    Memusnahkan (eradikasi) tanaman terserang
Memusnahkan tanaman terserang merupakan tindakan yang harus dilakukan untuk menghilangkan sumber inokulum sehingga tidak tersedia sumber penularan. Eradikasi harus dilakukan sesegera mungkin  setelah ada gejala serangan dengan cara mencabut seluruh tanaman sakit kemudian dibenamkan dalam tanah atau dibakar. Pada umumnya petani tidak bersedia melakukan eradikasi karena mengira penyakit bisa disembuhkan dan kurang memahami proses penularan penyakit. Untuk efektifitas upaya pengendlian, eradikasi mesti dilakukan diseluruh areal dengan tanaman terinfeksi, eradikasi yang tidak menyeluruh berarti menyisakan sumber inokulum.

















BAB IV. KESIMPULAN

Dari beberapa penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Tungro adalah penyakit virus pada padi yang biasanya terjadi pada fase pertumbuhan vegetatif dan menyebabkan tanaman tumbuh kerdil dan berkurangnya jumlah anakan.
2.      Tinggi rendahnya intensitas serangan tungro ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya: ketersediaan sumber inokulum (tanaman terserang), adanya vektor (penular), adanya varietas peka dan kondisi lingkungan yang memungkinkan.
















DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1986. Pengendalian Hama terpadu pada padi. Balai Informasi Pertanian Banjarbaru.

Anonim. 1985. Penyakit Tungro & Cara mengatasinya. Balai Informasi Pertanian Hawa Timor.

Kasno & Bambang Suharto. Pengendalian Hama Wereng coklat dan Penyakit Tungro secara terpadu.


apa bulai itu?


Penyakit bulai (downey mildew), yang disebabkan oleh cendawan Peronosclerospora maydis, merupakan penyakit yang penting, karena tanaman yang tertular tidak menghasilkan biji sama sekali. Penyakit ini telah dikenal di Indonesia terutama di Jawa sejak tahun 1897 (Semangoen, 1968). Di Lampung pada musim tanam 1973/74 dan 1996/97, penyakit bulai menginfeksi pertanaman jagung dalam areal yang cukup luas (Subandi et al., 1998). 
Perkembangan penyakit bulai dipengaruhi oleh kelembaban dan suhu udara. Kelembaban di atas 80%, suhu 28-30oC dan adanya embun ternyata dapat mendorong perkembangan penyakit. Infeksi oleh Sclerospora maydis pada jagung dilakukan oleh konidia melalui stomata. Konidia ini terbentuk pada jam 1:00 s/d 2:00 pagi apabila suhu 24oC dan permukaan daun tertutup embun. Konidia yang sudah masak akan disebarkan oleh angin pada jam 2:00 s/d 3:00 pagi dan berlang-sung sampai jam 6:00 s/d 7:00 pagi. Konidia yang disebarkan oleh angin, apabila jatuh pada permukaan daun yang berembun, akan segera berkecambah. Gejala tergantung pada saat terjadinya infeksi dan perkembangan cendawan dalam ba-dan tanaman. Apabila cendawan dapat mencapai gulungan daun, gejala menjadi sistemik, bila tidak gejalanya lokal pada bagian yang terinfeksi.
Gambar 1 . Tanaman Jagung terserang sejak awal diperkirakan berasal dari benih


image











2. Pertanaman Jagung berumur lebih dari 3 minggu tertular Penyakit Bulai


 














Penyakit bulai merupakan penyakit jagung yang paling berbahaya. Penyebarannya sangat luas, meliputi semua daerah penghasil jagung di dunia seperti Filipina, Thailand, India, Indonesia, Afrika, dan Amerika. Kehilangan hasil dapat mencapai 90% (Shurtleff 1980).

Beberapa penyebab mewabahnya penyakit bulai:
 1). Penanaman varietas jagung rentan bulai;
2). Penanaman jagung berkesinambungan;
3). Efektivitas fungisida rendah akibat dosis dikurangi atau dipalsukan;
4). Tidak adanya tindakan eradikasi;
5). Adanya resistensi bulai terhadap fungisida metalaksil; dan
6). Peningkatan virulensi bulai terhadap tanaman inang jagung.

 Pengenalan secara lengkap Penyakit Bulai
Gejala
Gejala daun yang terinfeksi berwarna khlorotik, biasanya memanjang sejajar tulang daun, dengan batas yang jelas, dan bagian daun yang masih sehat berwarna hijau normal (Gambar 1a). Warna putih seperti tepung pada permukaan bawah maupun atas bagian daun yang berwarna khlorotik, tampak dengan jelas pada pagi hari. Daun yang khlorotik sistemik menjadi sempit dan kaku. Tanaman menjadi terhambat pertumbuhannya dan pembentukan tongkol terganggu sampai tidak bertongkol sama sekali.
Tanaman yang terinfeksi sistemik sejak muda di bawah umur 1 bulan biasanya mati. Gejala lainnya adalah terbentuk anakan yang berlebihan dan daun-daun menggulung dan terpuntir, bunga jantan berubah menjadi massa daun yang berlebihan dan daun sobek-sobek.

Penyebab
Shurtleff (1980), Wakman dan Djatmiko (2002), serta Rathore dan Siradhana (1988) melaporkan bahwa penyakit bulai pada jagung dapat disebabkan oleh 10 spesies dari tiga generasi yaitu:
1. Peronosclerospora maydis (Java downy mildew)
2. P. philippinensis (Philippine downy mildew)
3. P. sorghi (Sorghum downy mildew)
4. P. sacchari (Sugarcane downy mildew)
5. P. spontanea (Spontanea downy mildew)
6. P. miscanthi (Miscanthi downy mildew).
7. P. heteropogoni (Rajasthan downy mildew)
8. Sclerophthora macrospora (Crazy top)
9. S. rayssiae var. zeae (Brown stripe)
10. Sclerospora graminicola (Graminicola downy mildew)

Siklus Hidup
Jamur dapat bertahan hidup sebagai miselium dalam biji, namun tidak begitu penting sebagai sumber inokulum. Infeksi dari konidia yang tumbuh di permukaan daun akan masuk jaringan tanaman melalui stomata tanaman muda dan lesio lokal berkembang ke titik tumbuh yang menyebabkan infeksi sistemik. Konidiofor (Gambar 1b) dan konidia terbentuk keluar dari stomata daun pada malam hari yang lembab. Apabila bijinya yang terinfeksi, maka daun kotiledon selalu terinfeksi, tetapi jika inokulum berasal dari spora,
daun kotiledon tetap sehat.

Epidemiologi
Pembentukan konidia jamur ini menghendaki air bebas, gelap, dan suhu tertentu, P. maydis di bawah suhu 24 o C, P. philippinensis 21-26 o C, P. sorghi 24-26 o C, P. sacchari 20-25o C, S. rayssiae 20-22 o C, S. graminicola 17-34 o C, dan S. macrospora 24-28 o C.

Tanaman Inang
Beberapa jenis serealia yang dilaporkan sebagai inang lain dari pathogen penyebab bulai jagung adalah Avena sativa, Digitaria spp., Euchlaena spp., Heteropogon contartus, Panicum spp., Setaria spp., Saccharum spp., Sorghum spp., Pennisetum spp., dan Zea mays.

Pengendalian
Teknologi pengendalian penyakit bulai pada jagung yang umum diterapkan adalah:
         Penggunaan varietas tahan (Balitsereal 2005)
         Pemusnahan tanaman terinfeksi
         Pencegahan dengan fungisida sistemik berbahan aktif metalaksil
         Pengaturan waktu tanam agar serempak
         Pergiliran tanaman.
















TUGAS
KLINIK TANAMAN
unej logo










Oleh
Mahbub Al Qusaeri




JURUSAN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2010

Cara Mendeteksi Patogen Dalam Tanah


I. PENDAHULUAN

1.1  Tinjauan Pustaka
Penyebaran patogen tumbuhan umumnya terjadi secara pasif. Penyebaran tersebut dibantu oleh beberapa agen penyebar patogen seperti angin. air, serangga atau hewan lainnya selain serangga dan manusia. Patogen yang penyebarannya dibantu oleh angin atau terbawa angin disebut sebagai patogen yang air borne. Sedang patogen yang penyebarannya banyak di bantu oleh air terutama melalui air pengairan, biasanya ialah patogen yang mampu bertahan di dalam tanah atau terbawa tanah (soil borne). Air juga dapat berperan sebagai agen penyebar beberapa patogen yang air borne, misalnya melalui percikan air hujan ke atas daun atau tanah yang terinfeksi. Patogen yang soil borne apabila ditularkan ke tanaman melalui tanah dan menyebabkan infeksi pada tanaman (bibit) disebut patogen tular tanah (soil transmitted).
Kadang-kadang inokulum terdapat pada sisa-sisa tumbuhan atau dalam tanah tempat tanaman ditanam; Inokulum lain ada yang datang ke areal pertanaman melalui biji, bibit, umbi atau bahan-bahan perbanyakan tumbuhan yang lain, atau inokulum tersebut mungkin datang dari tempat lain di luar areal pertanaman. Sumber inokulum yang berada di luar pertanaman mungkin berada dekat tumbuhan atau dekat lahan atau dari areal lain yang jaraknya dapat bermil-mil dari pertanaman. Pada banyak penyakit tumbuhan, terutama pada tanaman setahun, inokulumnya bertahan hidup pada gulma tahunan atau inang penggilir dan setiap musim inokulum tersebut pindah dari tumbuhan tersebut ke tanaman setahun atau tanaman lain. Jamur, bakteri, tumbuhan tingkat tinggi parasit dan nematoda menghasilkan inokulum pada permukaan yang terinfeksi atau inokulumnya mencakupi permukaan tumbuhan apabila jaringan yang diinfeksinya patah. Virus, viroid, mikoplasma dan bakteri fastidious menghasilkan inokulum dalam jaringan tumbuhan, inokulum tersebut hampir tidak pernah mencapai permukaan tumbuhan secara alami, dan oleh karena itu, tidak dapat melepaskan dirinya dari satu tumbuhan dan menyebar ke tumbuhan lain (Agrios, 1996).
Penyakit lanas pada tembakau sudah lama di kenal di Indonesia. Untuk pertama kali penyakit diteliti pada tahun 1984 di Deli oleh van Breda de Hann. Lanas merupakan penyakit tembakau di Indonesia, misalnya Surakarta, Besuki, Bojonegoro, dan Lumajang. Di Deli lanas kalah penting jika dibandingkan dengan penyakit layu bakteri, dan hanya timbul di pembibitan (pesemaian). Karena itu, di Deli penyakit ini disebut “penyakit bibit”. Di Besuki lanas disebut “kolot basah”. Sebelum dibudidayakan F1 (TV 38 x G) yang mempunyai ketahanan tinggi, lanas menimbulkan kerugian besar sekali di daerah tembakau cerutu Vorsteland. Sekarang di daerah tersebut penyakit ini kurang penting artinya (Semangun, 1996).
Lanas kurang merugikan tembakau rajangan. Di duga tembakau ini mempunyai ketahanan yang lebih tinggi dari pada tembakau cerutu dan tembakau Virginia. Lanas juga hampir selalu terdapat di daerah-daerah tembakau di negara lain, seperti Amerika Selatan dan Afrika Selatan lanas dikenal dengan nama black shank. Lanas dapat timbul pada tembakau dengan bermacam-macam umur, baik di pembibitan maupun di pertanaman. Pada bibit yang daunnya bergaris ke tengah 2-3 cm, penyakit mula-mula diketahui warna daun yang hijau kelabu kotor. Jika kelembapan udara sangat tinggi, penyakit berkembang dengan cepat dan bibit segera  menjadi busuk. Penyakit ini dapat meluas dengan cepat, sehingga pembibitan tampak seperti disiram air panas (Semangun, 2000).

1.2  Tujuan Praktikum
a.       Untuk mengetahui dan mempelajari cara-cara mendeteksi patogen dalam tanah.
  1. Untuk membuktikan bahwa patogen Phytopthora nicotiane var nicotiane dapat ditularkan melalui beberapa metode. 
 

II. BAHAN DAN METODE


2.1    Alat dan Bahan
2.1.1 Alat
a.       Cawan plastik.
b.      Kuas.
c.       Baki plastik.
d.      Kaleng, sebanyak 4 buah.
e.       Alat pengaduk.

2.1.2 Bahan
a.       Daun tembakau sehat.
b.      Tanah bekas lanas.
c.       Air bebas lanas.
d.      Daun pisang.

2.2        Cara Kerja
* Metode pengulasan :
a.       Mencampur tanah yang akan diteliti dengan air bebas lanas.
b.      Mengaduk hingga menyerupai lumpur encer.
c.       Mengulaskan lumpur encer tersebut pada permukaan bawah daun-daun tembakau dengan menggunakan kuas hingga merata.
d.      Menyimpan daun-daun yang telah di ulas dalam baki plastik yang di alasi dengan daun pisang.
e.       Meletakkan daun-daun tersebut dengan tiap-tiap helaian daun dengan yang lain dipisahkan dengan daun pisang dan bagian daun yang diulas dengan tanah harus di sebelah atas.
f.       Setelah 24 jam, mencuci daun-daun dengan air bebas lanas.
g.      Menyimpan kembali dalam baki plastik dengan cara yang sama.
h.      Mengamati munculnya gejala dengan cara menghitung jumlah bercak yang muncul pada setiap daun.
* Metode pengaliran :
a.       Memasukkan tanah yang akan diteliti ke dalam kaleng satu secukupnya.
b.      Memasukkan daun-daun tembakau yang digunakan untuk pengujian ke dalam kaleng ke-2, 3 dan 4 sebanyak 5 lembar daun untuk setiap kaleng yang diletakkan dengan cara di gantung.
c.       Mengalirkan air bebas lanas ke dalam kaleng satu.
d.      Dengan air tetap mengalir, mengaduk tanah dengan kaleng satu secara terus menerus dan mengalirkan air dari kaleng satu ke kaleng dua, dari kaleng dua ke kaleng tiga, serta dari kaleng tiga ke kaleng empat. Air dari kaleng empat dibiarkan mengalir terbuang.
e.       Pengaliran dilakukan selama lebih kurang satu jam sejak air keluar pertama kali dari kaleng keempat.
f.        Setelah satu jam, membuang dan menyimpan daun-daun tembakau dalam bak plastik, antara daun satu dengan yang lain dipisahkan dengan daun pisang.
g.      Penyimpanan dilakukan selama 24 jam.
h.      Mengamati munculnya gejala dengan cara menghitung jumlah bercak yang muncul pada setiap daun.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Pengamatan
a. Metode pengulasan
Kelompok
Ulangan
Hari ke-
Jumlah
Rata-rata
1
2
3
I
I
-
10
19
29
9,7
II
-
10
12
22
7,3
III
-
12
15
27
9
IV
-
15
17
32
10,7
V
-
13
18
31
10,3
II
I
-
17
20
37
12,3
II
-
15
17
32
10,7
III
-
10
13
23
7,7
IV
-
9
12
21
7
V
-
17
20
37
12,3
III
I
-
3
7
10
3,3
II
-
7
9
16
5,3
III
-
6
10
16
5,3
IV
-
4
5
9
3

b. Metode pengaliran
Kelompok
Ulangan
Hari ke-
1
2
3
I
I
-
+++
+++
II
-
+++
+++
III
-
+++
+++
IV
-
+++
+++
V
-
++
+++
II
I
-
++
+++
II
-
++
+++
III
-
+
++
IV
-
++
+++
V
-
++
+++
III
I
-
+
++
II
-
+
++
III
-
+
++
IV
-
+
++



Keterangan:        -           tidak ada gejala
                           +          gejala sedikit
                           ++        gejala menyebar sedikit
                           +++     gejala menyebar ke seluruh permukaan daun

3.2 Pembahasan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui dan mempelajari cara-cara mendeteksi patogen dalam tanah. Patogen yang digunakan adalah Phytophthora nicotiane var nicotiane, penyebab lanas, sedangkan tanaman yang digunakan adalah tembakau. Metode yang digunakan adalah metode pengulasan dan metode pengaliran. Praktikum ini juga bertujuan untuk membandingkan  metode yang paling efektif (antara metode pengulasan dan pengaliran) dalam keberhasilan isolasi lanas tembakau. Pada metode pengulasan dilakukan 14 ulangan.
Pada metode pengulasan, gejala baru terlihat pada hari kedua. Gejala yang muncul adalah bercak hijau kelabu kotor yang terdapat pada permukaan daun. Bercak ini sifatnya menyebar ke seluruh permukaan daun. Diameter bercak kira-kira 2 – 3 cm. Pada hari selanjutnya bercak terus meluas ke seluruh permukaan daun. Pada semua ulangan, terdapat gejala. Hal ini membuktikan bahwa Phytophthora nicotiane var nicotiane, dapat ditularkan/diisolasi melalui metode pengulasan. Patogen ini bersifat soil borne (dapat bertahan dalam tanah). Tanah bekas lanas yang digunakan pada metode pengulasan ternyata masih terdapat Phytophthora nicotiane var nicotiane dan masih virulen.
Pada metode pengaliran, gejala baru terlihat pada hari kedua. Gejala yang muncul adalah permukaan daun yang berubah warna menjadi hijau kelabu kotor. Sifatnya menyebar ke seluruh permukaan daun. Pada hari berikutnya, warna permukaan daun yang berubah semakin bertambah/meluas. Hal ini membuktikan bahwa Phytophthora nicotiane var nicotiane dapat ditularkan melalui metode pengaliran. Dibandingkan dengan metode pengulasan, gejala yang muncul pada metode pengaliran ternyata lebih menyebar. Hal ini berarti metode pengaliran lebih efektif dibandingkan dengan metode pengulasan.
Pada metode pengaliran, daun pada kaleng pertama menunjukkan gejala yang paling berat dibandingkan dengan kaleng kedua dan ketiga. Hal ini disebabkan Phytophthora nicotiane var nicotiane yang terbawa oleh air terlebih dahulu menempel pada daun di kaleng pertama pertama, baru kemudian air mengalir pada kaleng kedua dan ketiga. Pada kaleng pertama yang pertama kali dilewati patogen, banyak tersimpan Phytophthora nicotiane var nicotiane sehingga daun pada kaleng pertama menunjukkan gejala yang paling berat.
Tanah yang lembab (mengandung banyak air) merupakan habitat yang sesuai bagi Phytophthora nicotiane var nicotiane. Hujan dan kelembapan tinggi merupakan faktor terpenting bagi perkembangan lanas di mana saja. Air, juga air pengairan, sangat membantu penyebaran Phytophthora nicotiane var nicotiane. Hal ini membuktikan dengan terjadinya gejala yang sangat luas dan merata pada seluruh permukaan daun pada metode pengulasan.
Jamur mempunyai hifa yang tidak berwarna dan tidak bersekat, menjalar di dalam tumbuhan sakit. Jika jaringan ini terendam air atau berada dalam ruangan yang sangat lembab, jamur membenmtuk banyak sporangium (zoosporangium) yang berbentuk bulat telur seperti buah per, yang mempunyai sebuah tonjolan (papil). Sporangium dapat berkecambah secara tidak langsung dengan membentuk zoospora yang keluar satu persatu dari dalam sporangium. Di samping itu sporangium dapat berkecambah secara langsung dengan membentuk hifa atau pembuluh kecambah. Oleh karena itu sporangium Phytophthora nicotiane var nicotiane sering juga disebut sebagai konidium. Zoospora mempunyai dua flagel dan dapat berenang dalam air.      





IV. KESIMPULAN

Dari hasil pengamatan dan pembahasan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
  1. Phytophthora nicotiane var nicotiane dapat ditularkan/diisolasi dengan metode pengulasan dan pengaliran.
  2. Metode pengaliran lebih efektif dalam menularkan Phytophthora nicotiane var nicotiane dibandingkan dengan metode pengulasan.
  3. Phytophthora nicotiane var nicotiane bersifat soil borne (dapat bertahan dalam tanah.
  4. Kelembapan tinggi merupakan faktor terpenting bagi perkembangan lanas.