Powered By Blogger

succes men

succes men
ngasi sambutan nie

Kamis, 23 Februari 2012

Spodoptera litura (ulat Grayak)

.    Bioekologi Spodoptera litura

            Serangga S. litura merupakan hama yang sering menyerang tanaman diantaranya kapas, tembakau, padi, jagung, tomat, tebu, buncis, kubis, pisang, jeruk, kacang tanah, jarak, lombok, bawang, kentang, bayam, kangkung, genjir, jimson weed dan beberapa jenis gulma, sehingga hal ini dapat menimbulkan kerugian terhadap hasil kualitas produksi (Anwar, 2000 dan Heroetadji 1985) . Menurut Kalshoven (1981), S. litura dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Kerajaan          : Animalia
Filum               : Arthropoda
Kelas               : Insecta
Suku                : Noctuidae
Bangsa             : Lepidoptera
Marga              : Spodoptera
Jenis                : S. litura (ulat grayak) 

            Serangga ini berkembang secara metamorfosis sempurna. Perkembangan S. litura terdiri dari empat stadia yaitu telur, larva, pupa, dan imago. Hama ini bersifat polifag atau mempunyai kisaran inang yang cukup luas .            Pada umur 2 minggu, panjang ulat sekitar5 cm. Ulat berkepompong di dalam tanah, membentuk pupa tanpa rumah pupa (kokon), berwarna coklat kemerahan dengan panjang sekitar 1,60 cm. Siklus hidup berkisar antara 30−60 hari (lama stadium telur 2−4 hari). Stadium larva terdiri atas 5 instar yang berlangsung selama 20−46 hari. Lama stadium pupa 8− 11 hari. Seekor ngengat betina dapat meletakkan 2.000−3.000 telur. Ulat grayak tersebar luas di Asia, Pasifik, dan Australia. Di Indonesia, hama ini terutama menyebar di Aceh, Jambi, Sumatera Selatan.

 Gambar : Kelompok telur (a), ulat instar 3 (b), dan imago ulat grayak (c).

B.     Marfologi ulat grayak
            Sayap ngengat bagian depan berwarna coklat atau keperakan, dan sayap belakang berwarna keputihan dengan bercak hitam. Kemampuan terbang ngengat pada malam hari mencapai 5 km. Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian dasar melekat pada daun (kadangkadang tersusun dua lapis), berwarna coklat kekuningan, diletakkan berkelompok masing-masing 25−500 butir. Telur diletakkan pada bagian daun atau bagian tanaman lainnya, baik pada tanaman inang maupun bukan inang. Bentuk telur bervariasi. Kelompok telur tertutup bulu seperti beludru yang berasal dari bulu-bulu tubuh bagian ujung ngengat betina, berwarna kuning kecoklatan.
            Larva mempunyai warna yang bervariasi, memiliki kalung (bulan sabit) berwarna hitam pada segmen abdomen keempat dan kesepuluh . Pada sisi lateral dorsal terdapat garis kuning.Ulat yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi coklat tua atau hitam kecoklatan, dan hidup berkelompok. Beberapa hari setelah menetas (bergantung ketersediaan makanan), larva menyebar dengan menggunakan benang sutera dari mulutnya. Pada siang hari, larva bersembunyi di dalam tanah atau tempat yang lembap dan menyerang tanaman pada malam hari atau pada intensitas cahaya matahari yang rendah. Biasanya ulat berpindah ke tanaman lain secara bergerombol dalam jumlah besar
            Warna dan perilaku ulat instar terakhir mirip ulat tanah Agrothis ipsilon, namun terdapat perbedaan yang cukup mencolok, yaitu pada ulat grayak terdapat tanda bulan sabit berwarna hijau gelap dengan garis punggung gelap memanjang.

C.    Inang ulat grayak

                Selain kedelai, tanaman inang lain dari ulat grayak adalah cabai, kubis, padi, jagung, tomat, tebu, buncis, jeruk, tembakau, bawang merah, terung, kentang, kacang kacangan (kedelai, kacang tanah) kangkung, bayam, pisang,padi, dan tanaman hias. Ulat grayak juga menyerang berbagai gulma, seperti Limnocharis sp., Passiflora foetida, Ageratum sp., Cleome sp., Clibadium sp., dan Trema sp.

D.    Gejala serangan

1.      Larva yang masih muda merusak daun dengan meninggalkan sisa-sisa epidermis bagian atas (transparan) dan tulang daun. Larva instar lanjut merusak tulang daun dan kadang-kadang menyerang polong. Biasanya larva berada di permukaan bawah daun dan menyerang secara serentak dan berkelompok. Serangan berat menyebabkan tanaman gundul karena daun dan buah habis dimakan ulat.
2.      Serangan berat pada umumnya terjadi pada musim kemarau, dan menyebabkan defoliasi daun yang sangat berat.  serangan ulat yang masih kecil mengakibatkan bagian daun yang tersisa tinggal epidermis bagian atas dan tulang daunnya saja. Ulat yang besar memakan tulang daun. Serangan berat dapat mengakibatkan tanaman menjadi gundul.

E.     Kerusakan yang diakibatkan ulat grayak

            Ulat grayak bersifat polifag atau dapat menyerang berbagai jenis tanaman pangan, sayuran, dan buah-buahan. Hama ini tersebar luas di daerah dengan iklim panas dan lembap dari subtropis sampai daerah tropis. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (1993), serangan ulat grayak di Indonesia mencapai 4.149 ha dengan intensitas serangan sekitar 17,80%. Serangan tersebut menurun pada tahun 1994 menjadi 3.616 ha, dengan intensitas serangan 14,40% (Badan Pusat Statistik 1994). Luas serangan ulat grayak berkembang dari tahun ke tahun.
             Kerusakan dan kehilangan hasil akibat serangan ulat grayak ditentukan oleh populasi hama, fase perkembangan serangga, fase pertumbuhan tanaman, dan varietas kedelai. Serangan pada varietas rentan menyebabkan kerugian yang sangat signifikan. Apabila defoliasi daun karena serangan ulat grayak terjadi pada fase R2 (fase pertumbuhan tanaman berbunga penuh, pada dua atau lebih buku batang utama terdapat bunga mekar), dan fase R3 (fase pertumbuhan tanaman mulai membentuk polong, terdapat satu atau lebih polong sepanjang 5 mm pada batang utama) maka kerusakan yang ditimbulkan lebih besar daripada serangan pada fase R4 (fase pertumbuhan tanaman polong berkembang penuh, polong pada batang utama mencapai panjang 2 cm atau lebih), R5 (fase pertumbuhan tanaman polong
berisi, polong pada batang utama berisi biji dengan ukuran 2 mm x 1 mm), dan R6 (fase pertumbuhan tanaman biji penuh, polong pada batang utama berisi biji berwarna hijau atau biru yang telah memenuhi rongga polong/besar, biji mencapai maksimum) (Sumarno 1993).

            Hasil penelitian  Arifin (1986a) menunjukkan bahwa apabila pada fase R2 dan R3 terdapat paling sedikit 1 ekor ulat/m maka kerusakan daun mencapai 50%. Selain itu, serangan ulat grayak pada fase pertumbuhan tersebut menyebabkan bunga banyak yang gugur, sehingga menurunkan jumlah polong yang terbentuk, walaupun tidak mempengaruhi bobot 100 biji. Berdasarkan hasil penelitian, ambang luka ekonomi ulat grayak pada R2-R4 rata-rata adalah 2 ekor larva per 1 m baris tanaman. Oleh karena itu, serangan ulat grayak pada fase R3 perlu diwaspadai, karena defoliasi pada fase tersebut menyebabkan kerugian hasil yang lebih besar dibandingkan pada fase V6, R2, R4, dan R5 (Arifin 1986).
 Tabel. Luas serangan ulat grayak  (Spodoptera litura) pada tanaman kedelai di Indonesia, 2002−2007.

Tahun
Luas serangan (Ha)
Tanaman puso (Ha)
2002
2.216
80
2003
1.528
0
2004
2.902
0
2005
1.714
0
2006
1.316
140
2007
956*
0*

*Angka sementara.
Sumber: Direktorat Perlindungan Tanaman (2008).

F.      Pengendalian ulat grayak
            Berkembangnya resistensi hama terhadap insektisida yang diikuti dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan dampak buruk penggunaan insektisida secara intensif, mendorong perlunya pengendalian hama secara terpadu dengan menekan penggunaan insektisida kimia dan mempertahankan keberlanjutan system usaha tani (Carter 1989). Hal ini mendorong penggunaan komponen teknologi pengendalian selain insektisida kimia, seperti azadirachtin dan nucleopolyhedrosis pada ulat grayak (Nathan dan Kalaivani 2006). Pengendalian hama pada tanaman kedelai diarahkan pada penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT).
 PHT adalah suatu pendekatan atau cara pengendalian hama yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan ekosistem yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Strategi PHT adalah menggunakan secara kompatibel semua teknik atau metode pengendalian hama yang didasarkan pada asas ekologi dan ekonomi. Prinsip operasional yang digunakan dalam PHT meliputi:
1    Budi daya tanaman sehat. Tanaman yang sehat mempunyai ketahanan ekologi yang tinggi terhadap gangguan gangguan  hama. Oleh karena itu, penerapan paket teknologi produksi harus diarahkan kepada terwujudnya tanaman yang sehat.
  1.       Pelestarian musuh alami. Musuh alami (parasit, predator, dan patogen serangga) merupakan faktor pengendali hama penting yang perlu dilestarikan dan dikelola agar mampu berperan secara maksimum dalam pengaturan populasi hama di lapang. Untuk itu, penggunaan insektisida perlu dilakukan secara selektif. Penggunaan pestisida nabati biji mimba yang mengandung azadirachtin terbukti dapat menekan serangan ulat grayak (Nathan dan Kalaivani 2005).
  2.      Pemantauan ekosistem secara terpadu. Pemantauan ekosistem pertanaman secara rutin oleh petani merupakan dasar analisis ekosistem untuk pengambilan keputusan dan melakukan tindakan pengendalian yang diperluka
  3.  Petani sebagai ahli PHT, yaitu mampu mengambil keputusan dan memiliki keterampilan dalam menganalisis ekosistem untuk menetapkan cara pengendalian hama secara tepat sesuai dengan dasar PHT.
Komponen Pengendalian

            Komponen-komponen pengendalian hama yang dapat dipadukan dalam penerapan PHT pada tanaman kedelai adalah:
1)   Pengendalian alami dengan mengurangi tindakan-tindakan yang dapat merugikan atau mematikan perkembangan musuh alami. Penyemprotan dengan insektisida yang berlebihan, baik dosis maupun frekuensi aplikasinya, akan mengancam populasi musuh alami (parasitoid dan predator).
2)      Pengendalian fisik dan mekanik yang bertujuan untuk mengurangi populasi hama, mengganggu aktivitas fisiologis hama, serta mengubah lingkungan fisik menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan perkembangan hama. Pengurangan populasi hama dapat pula dilakukan dengan mengambil kelompok telur, membunuh larva dan imago atau mencabut tanaman yang sakit.
3)       Pengelolaan ekosistem melalui usaha bercocok tanam yang bertujuan untuk membuat lingkungan tanaman menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan pembiakan hama, serta mendorong berfungsinya agensia pengendali hayati. Beberapa teknik bercocok tanam yang dapat menekan populasihama meliputi:
a.       Penanaman varietas tahan.
 Pada tahun 2003 telah dilepas satu varietas kedelai yang toleran terhadap serangan ulat grayak yaitu varietas Ijen (Suhartina 2005).
b.      Penggunaan benih sehat dan berdaya tumbuh baik.
 Benih yang sehat akan tumbuh menjadi tanaman yang sehat pula. Selanjutnya, tanaman yang sehat akan mampu mempertahankan diri dari serangan hama dengan kemampuan tumbuh kembali (recovery) yang lebih cepat.
c.       Pergiliran tanaman untuk memutus siklus hidup hama. Pergiliran tanaman dengan menanam tanaman bukan inang sebelum atau sesudah kedelai ditanam dapat memutus siklus hama sehingga populasi hama menjadi tertekan.
d.      Sanitasi dengan membersihkan sisa-sisa tanaman atau tanaman lain yang dapat menjadi inang hama.
e.       Penetapan masa tanam dan penanaman secara serempak pada satu hamparan dengan selisih waktu tanam maksimal 10 hari untuk menghindari waktu tanam yang tumpang-tindih. Waktu tanam yang tidak serempak dalam area yang luas akan mendorong pertumbuhan populasi hama.
f.       Penanaman tanaman perangkap atau penolak hama sehingga hama lebih senang pada tanaman perangkap dibanding tanaman utama, misalnya menanam jagungpada areal pertanaman kedelai untuk menarik hama ulat grayak (Marwoto et al. 1991).

4.      Penggunaan agens hayati (pengendalian biologis). Pengendalian biologis pada dasarnya adalah pemanfaatan dan penggunaan musuh alami untuk mengendalikan hama. Musuh alami seperti parasitoid, predator, dan patogen serangga hama merupakan agens hayati yang dapat digunakan sebagai pengendali ulat grayak (Marwoto 1999). NPV efektif mengendalikan hama ulat grayak (Bejo 1997a). Kombinasi NPV dengan azadirachtin (insektisida nabati dari tanaman mimba) lebih efektif mengendalikan ulat grayak (Nathan dan Kalaivani 2005, 2006). Bacillus thuringiensis (Bt) merupakan agens hayati berbahan aktif bakteri yang efektif mengendalikan ulat grayak (Bejo 1997b). Pemanfaatan Bt sebagai agens hayati untuk mengendalikan ulat grayak aman terhadap serangga bukan sasaran seperti parasitoid dan predator (Walker et al. 2007). Kombinasi feromon seks dan aplikasi insektisida berdasarkan pemantauan mampu mencegah kehilangan hasil kedelai akibat serangan ulatgrayak hingga 50% (Marwoto 1996).

5.      Pestisida nabati untuk mengembalikan populasi hama pada asas keseimbangannya. Serbuk biji mimba efektif mengendalikan hama ulat grayak (Susilo et al. 1996).

      Pestisida kimiawi dapat digunakan setelah dilakukan analisis ekosistem hasil pengamatan dan ketetapan tentang ambang kendali. Pestisida yang dipilih harus yang efektif dan telah diizinkan. Strategi pengendalian ulat grayak dapat dilakukan berdasarkan pemantauan ambang kendali dan strategi komponen pengendalian, sehingga penerapan PHT yang dilakukan dipilih berdasarkan alternatif pengendalian yang ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar