Serangga S. litura merupakan hama yang sering menyerang tanaman diantaranya kapas, tembakau, padi, jagung, tomat, tebu, buncis, kubis, pisang, jeruk, kacang tanah, jarak, lombok, bawang, kentang, bayam, kangkung, genjir, jimson weed dan beberapa jenis gulma, sehingga hal ini dapat menimbulkan kerugian terhadap hasil kualitas produksi (Anwar, 2000 dan Heroetadji 1985) . Menurut Kalshoven (1981), S. litura dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Kerajaan : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Suku : Noctuidae
Bangsa : Lepidoptera
Marga : Spodoptera
Jenis : S. litura (ulat grayak)
Serangga ini berkembang secara metamorfosis sempurna. Perkembangan S. litura
terdiri dari empat stadia yaitu telur, larva, pupa, dan imago. Hama ini bersifat polifag atau mempunyai kisaran inang
yang cukup luas
. Pada umur 2
minggu, panjang ulat sekitar5 cm. Ulat berkepompong di dalam tanah, membentuk
pupa tanpa rumah pupa (kokon), berwarna coklat kemerahan dengan panjang sekitar
1,60 cm. Siklus hidup berkisar antara 30−60 hari (lama stadium telur 2−4 hari).
Stadium larva terdiri atas 5 instar yang berlangsung selama 20−46 hari. Lama
stadium pupa 8− 11 hari. Seekor ngengat betina dapat meletakkan 2.000−3.000
telur. Ulat grayak tersebar luas di Asia, Pasifik, dan Australia. Di Indonesia,
hama ini terutama menyebar di Aceh, Jambi, Sumatera Selatan.
Gambar : Kelompok telur (a), ulat instar 3 (b), dan imago ulat
grayak (c).
B. Marfologi ulat grayak
Sayap ngengat bagian depan berwarna coklat atau
keperakan, dan sayap belakang berwarna keputihan dengan bercak hitam. Kemampuan
terbang ngengat pada malam hari mencapai 5 km. Telur berbentuk hampir bulat
dengan bagian dasar melekat pada daun (kadangkadang tersusun dua lapis),
berwarna coklat kekuningan, diletakkan berkelompok masing-masing 25−500 butir.
Telur diletakkan pada bagian daun atau bagian tanaman lainnya, baik pada
tanaman inang maupun bukan inang. Bentuk telur bervariasi. Kelompok telur
tertutup bulu seperti beludru yang berasal dari bulu-bulu tubuh bagian ujung
ngengat betina, berwarna kuning kecoklatan.
Larva mempunyai warna yang bervariasi, memiliki kalung (bulan sabit) berwarna
hitam pada segmen abdomen keempat dan kesepuluh . Pada sisi lateral dorsal
terdapat garis kuning.Ulat yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi
coklat tua atau hitam kecoklatan, dan hidup berkelompok. Beberapa hari setelah
menetas (bergantung ketersediaan makanan), larva menyebar dengan menggunakan
benang sutera dari mulutnya. Pada siang hari, larva bersembunyi di dalam tanah
atau tempat yang lembap dan menyerang tanaman pada malam hari atau pada
intensitas cahaya matahari yang rendah. Biasanya ulat berpindah ke tanaman lain
secara bergerombol dalam jumlah besar
Warna dan perilaku ulat instar terakhir mirip ulat tanah Agrothis ipsilon,
namun terdapat perbedaan yang cukup mencolok, yaitu pada ulat grayak terdapat
tanda bulan sabit berwarna hijau gelap dengan garis punggung gelap memanjang.
C. Inang ulat grayak
Selain kedelai,
tanaman inang lain dari ulat grayak adalah cabai, kubis, padi, jagung, tomat,
tebu, buncis, jeruk, tembakau, bawang merah, terung, kentang, kacang kacangan
(kedelai, kacang tanah) kangkung, bayam, pisang,padi, dan tanaman hias. Ulat
grayak juga menyerang berbagai gulma, seperti Limnocharis sp., Passiflora
foetida, Ageratum sp., Cleome sp., Clibadium sp.,
dan Trema sp.
D. Gejala serangan
1. Larva yang masih muda merusak daun dengan
meninggalkan sisa-sisa epidermis bagian atas (transparan) dan tulang daun.
Larva instar lanjut merusak tulang daun dan kadang-kadang menyerang polong. Biasanya
larva berada di permukaan bawah daun dan menyerang secara serentak dan
berkelompok. Serangan berat menyebabkan tanaman gundul karena daun dan buah
habis dimakan ulat.
2. Serangan berat pada umumnya terjadi pada musim
kemarau, dan menyebabkan defoliasi daun yang sangat berat. serangan ulat yang masih kecil
mengakibatkan bagian daun yang tersisa tinggal epidermis bagian atas dan tulang
daunnya saja. Ulat yang besar memakan tulang daun. Serangan berat dapat
mengakibatkan tanaman menjadi gundul.
E. Kerusakan yang
diakibatkan ulat grayak
Ulat grayak bersifat polifag atau dapat menyerang berbagai jenis tanaman
pangan, sayuran, dan buah-buahan. Hama ini tersebar luas di daerah dengan iklim
panas dan lembap dari subtropis sampai daerah tropis. Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik (1993), serangan ulat grayak di Indonesia mencapai 4.149 ha
dengan intensitas serangan sekitar 17,80%. Serangan tersebut menurun pada tahun
1994 menjadi 3.616 ha, dengan intensitas serangan 14,40% (Badan Pusat Statistik
1994). Luas serangan ulat grayak berkembang dari tahun ke tahun.
Kerusakan dan kehilangan hasil akibat serangan ulat grayak ditentukan
oleh populasi hama, fase perkembangan serangga, fase pertumbuhan tanaman, dan
varietas kedelai. Serangan pada varietas rentan menyebabkan kerugian yang
sangat signifikan. Apabila defoliasi daun karena serangan ulat grayak terjadi
pada fase R2 (fase pertumbuhan tanaman berbunga penuh, pada dua atau lebih buku
batang utama terdapat bunga mekar), dan fase R3 (fase pertumbuhan tanaman mulai
membentuk polong, terdapat satu atau lebih polong sepanjang 5 mm pada batang
utama) maka kerusakan yang ditimbulkan lebih besar daripada serangan pada fase
R4 (fase pertumbuhan tanaman polong berkembang penuh, polong pada batang utama
mencapai panjang 2 cm atau lebih), R5 (fase pertumbuhan tanaman polong
berisi, polong pada
batang utama berisi biji dengan ukuran 2 mm x 1 mm), dan R6 (fase pertumbuhan
tanaman biji penuh, polong pada batang utama berisi biji berwarna hijau atau
biru yang telah memenuhi rongga polong/besar, biji mencapai maksimum) (Sumarno
1993).
Hasil penelitian Arifin (1986a) menunjukkan bahwa apabila pada fase R2
dan R3 terdapat paling sedikit 1 ekor ulat/m maka kerusakan daun mencapai 50%.
Selain itu, serangan ulat grayak pada fase pertumbuhan tersebut menyebabkan
bunga banyak yang gugur, sehingga menurunkan jumlah polong yang terbentuk,
walaupun tidak mempengaruhi bobot 100 biji. Berdasarkan hasil penelitian,
ambang luka ekonomi ulat grayak pada R2-R4 rata-rata adalah 2 ekor larva per 1
m baris tanaman. Oleh karena itu, serangan ulat grayak pada fase R3 perlu
diwaspadai, karena defoliasi pada fase tersebut menyebabkan kerugian hasil yang
lebih besar dibandingkan pada fase V6, R2, R4, dan R5 (Arifin 1986).
Tabel. Luas serangan
ulat grayak (Spodoptera litura) pada tanaman kedelai di Indonesia,
2002−2007.
Tahun
|
Luas serangan (Ha)
|
Tanaman puso (Ha)
|
2002
|
2.216
|
80
|
2003
|
1.528
|
0
|
2004
|
2.902
|
0
|
2005
|
1.714
|
0
|
2006
|
1.316
|
140
|
2007
|
956*
|
0*
|
*Angka sementara.
Sumber: Direktorat
Perlindungan Tanaman (2008).
F. Pengendalian ulat
grayak
Berkembangnya resistensi hama terhadap insektisida yang diikuti dengan
meningkatnya kesadaran masyarakat akan dampak buruk penggunaan insektisida
secara intensif, mendorong perlunya pengendalian hama secara terpadu dengan
menekan penggunaan insektisida kimia dan mempertahankan keberlanjutan system
usaha tani (Carter 1989). Hal ini mendorong penggunaan komponen teknologi
pengendalian selain insektisida kimia, seperti azadirachtin dan nucleopolyhedrosis
pada ulat grayak (Nathan dan Kalaivani 2006). Pengendalian hama pada tanaman
kedelai diarahkan pada penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT).
PHT adalah suatu pendekatan atau cara pengendalian hama
yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka
pengelolaan ekosistem yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Strategi
PHT adalah menggunakan secara kompatibel semua teknik atau metode pengendalian
hama yang didasarkan pada asas ekologi dan ekonomi. Prinsip operasional yang
digunakan dalam PHT meliputi:
1 Budi daya tanaman sehat. Tanaman yang sehat
mempunyai ketahanan ekologi yang tinggi terhadap gangguan gangguan hama.
Oleh karena itu, penerapan paket teknologi produksi harus diarahkan kepada
terwujudnya tanaman yang sehat.
- Pelestarian musuh alami. Musuh alami (parasit, predator, dan patogen serangga) merupakan faktor pengendali hama penting yang perlu dilestarikan dan dikelola agar mampu berperan secara maksimum dalam pengaturan populasi hama di lapang. Untuk itu, penggunaan insektisida perlu dilakukan secara selektif. Penggunaan pestisida nabati biji mimba yang mengandung azadirachtin terbukti dapat menekan serangan ulat grayak (Nathan dan Kalaivani 2005).
- Pemantauan ekosistem secara terpadu. Pemantauan ekosistem pertanaman secara rutin oleh petani merupakan dasar analisis ekosistem untuk pengambilan keputusan dan melakukan tindakan pengendalian yang diperluka
- Petani sebagai ahli PHT, yaitu mampu mengambil keputusan dan memiliki keterampilan dalam menganalisis ekosistem untuk menetapkan cara pengendalian hama secara tepat sesuai dengan dasar PHT.
Komponen Pengendalian
Komponen-komponen pengendalian hama yang dapat dipadukan dalam penerapan PHT
pada tanaman kedelai adalah:
1) Pengendalian alami dengan mengurangi
tindakan-tindakan yang dapat merugikan atau mematikan perkembangan musuh alami.
Penyemprotan dengan insektisida yang berlebihan, baik dosis maupun frekuensi
aplikasinya, akan mengancam populasi musuh alami (parasitoid dan predator).2) Pengendalian fisik dan mekanik yang bertujuan untuk mengurangi populasi hama, mengganggu aktivitas fisiologis hama, serta mengubah lingkungan fisik menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan perkembangan hama. Pengurangan populasi hama dapat pula dilakukan dengan mengambil kelompok telur, membunuh larva dan imago atau mencabut tanaman yang sakit.
3) Pengelolaan ekosistem melalui usaha bercocok tanam yang bertujuan untuk membuat lingkungan tanaman menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan pembiakan hama, serta mendorong berfungsinya agensia pengendali hayati. Beberapa teknik bercocok tanam yang dapat menekan populasihama meliputi:
a. Penanaman varietas
tahan.
Pada tahun 2003
telah dilepas satu varietas kedelai yang toleran terhadap serangan ulat grayak
yaitu varietas Ijen (Suhartina 2005).
b. Penggunaan benih sehat dan berdaya tumbuh
baik.
Benih yang sehat
akan tumbuh menjadi tanaman yang sehat pula. Selanjutnya, tanaman yang sehat
akan mampu mempertahankan diri dari serangan hama dengan kemampuan tumbuh
kembali (recovery) yang lebih cepat.
c. Pergiliran tanaman
untuk memutus siklus hidup hama. Pergiliran tanaman dengan menanam tanaman
bukan inang sebelum atau sesudah kedelai ditanam dapat memutus siklus hama
sehingga populasi hama menjadi tertekan.
d. Sanitasi dengan membersihkan sisa-sisa tanaman
atau tanaman lain yang dapat menjadi inang hama.
e. Penetapan masa tanam
dan penanaman secara serempak pada satu hamparan dengan selisih waktu tanam
maksimal 10 hari untuk menghindari waktu tanam yang tumpang-tindih. Waktu tanam
yang tidak serempak dalam area yang luas akan mendorong pertumbuhan populasi
hama.
f. Penanaman tanaman
perangkap atau penolak hama sehingga hama lebih senang pada tanaman perangkap
dibanding tanaman utama, misalnya menanam jagungpada areal pertanaman kedelai
untuk menarik hama ulat grayak (Marwoto et al. 1991).
4. Penggunaan agens hayati (pengendalian
biologis). Pengendalian biologis pada dasarnya adalah pemanfaatan dan
penggunaan musuh alami untuk mengendalikan hama. Musuh alami seperti
parasitoid, predator, dan patogen serangga hama merupakan agens hayati yang
dapat digunakan sebagai pengendali ulat grayak (Marwoto 1999). NPV efektif
mengendalikan hama ulat grayak (Bejo 1997a). Kombinasi NPV dengan azadirachtin
(insektisida nabati dari tanaman mimba) lebih efektif mengendalikan ulat grayak
(Nathan dan Kalaivani 2005, 2006). Bacillus thuringiensis (Bt) merupakan
agens hayati berbahan aktif bakteri yang efektif mengendalikan ulat grayak
(Bejo 1997b). Pemanfaatan Bt sebagai agens hayati untuk mengendalikan ulat
grayak aman terhadap serangga bukan sasaran seperti parasitoid dan predator
(Walker et al. 2007). Kombinasi feromon seks dan aplikasi insektisida
berdasarkan pemantauan mampu mencegah kehilangan hasil kedelai akibat serangan
ulatgrayak hingga 50% (Marwoto 1996).
5. Pestisida nabati untuk mengembalikan populasi
hama pada asas keseimbangannya. Serbuk biji mimba efektif mengendalikan hama
ulat grayak (Susilo et al. 1996).
Pestisida kimiawi dapat digunakan setelah dilakukan analisis ekosistem hasil
pengamatan dan ketetapan tentang ambang kendali. Pestisida yang dipilih harus
yang efektif dan telah diizinkan. Strategi pengendalian ulat grayak dapat
dilakukan berdasarkan pemantauan ambang kendali dan strategi komponen
pengendalian, sehingga penerapan PHT yang dilakukan dipilih berdasarkan
alternatif pengendalian yang ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar